Sunday, 26 May 2013

Ayah



Sore berangin dan mendung. 
Dingin. 
Aku meminjam motor teman se-kost untuk mampir ke toko buku.

Jalanan tidak terlalu ramai dan tidak terlalu sepi. 
Lama, cukup lama tidak mengendarai motor ber-persneling ini, agak susah awalnya. Motor kulaju dengan kecepatan 30 km/jam, karena sulit bagiku yang hampir 4 tahun mengendarai scooter. 

Sampai di toko buku, social agency namanya. Awal datang mataku tertuju pada dinding parkiran motor, “parkir gratis” yang artinya aku tidak perlu menyiapkan Rp 1000 untuk motor atau Rp 2000 untuk konsumen yang datang memakai mobil. Entah apa namanya, perasaanku arif seketika melihat tulisan itu. 

Lantai 2 langsung ku jejal, toko buku ini jarang aku kunjungi. Terakhir adalah setahun yang lalu. Saat berstatus baru patah hati. Tak kenal hati, rasa mati. Langkah pertama masuk ke dalam toko buku itu mengingatkan kejadian setahun yang lalu. Siklus hidup yang berubah, dari yang ketergantungan mulai belajar untuk hdiup sendiri dan mandiri. Anak tangga pertama aku naiki dan tersenyum kecil mengingat setahun lalu.

Rak “FARMASI” berderet disamping rak “KEDOKTERAN” dan “MESIN”. Aku meneliti satu persatu buku, yang herannya diisi dengan buku “Kebidanan”. Aku mencari buku yang nantinya akan aku sumbangkan ke Perpustakaan.  Setelah 40 menit, aku mendapatkan judul yang dicari. Buku yang ditulis oleh salah satu dosen kelas farmakologiku Dr. Agung. 

Sembari melihat-lihat novel, mataku tertuju pada novel dengan cover berwarna biru muda. 
Ya, sebenarnya bukan karena tahu penulisnya siapa, tapi ada kata “Ayah” pada cover tersebut. 
Judul novel itu “Ayahku (bukan) pembohong”. 
Tertarik, aku mengambilnya, membaca tulisan dibelakangnya.

“…kapan terakhir kali kita memeluk ayah kita? Menatap wajahnya, lantas bilang kita sungguh sayang padanya?”

Sarafku terpacu, kemudian yang muncul dipikiranku adalah ayahku. Terakhir aku melihat beliau adalah di dalam peti, yang baru sampai di bawa ke Yogyarta denga pesawat. Bahkan aku tidak sempat melihat wajahnya. Bahakn memeluknya saja aku tidak sempat, aku hanya menyentuh ujung petinya, dan menatapnya sebentar karena akan segera dikuburkan. 

November 2012, bulan dimana aku dipaksa dewasa. Menjadikan otakku bekerja lebih banyak dari sebelumnya. Di hari ulang tahunku, aku berbicara empat mata dengan ayahku. Dia tidak menanyakan kenapa, dia juga tidak ingin mencari tahu apa sebab aku patah hati. Dia tidak menyalahkan pria yang membuatku patah hati. Ayahku hanya mengatakan…

kamu hanya perlu lebih banyak belajar dan melihat dunia, bahagia itu datang dari diri sendiri. Bukan orang lain. Bukan orang lain yang bertanggung jawab atas kebahagiaanmu, tapi dirimu sendiri”

Dari matanya aku melihat betapa dia menyukai pria yang membuatku patah hati, pria yang pertama kali aku kenalkan pada ayahku sebagai teman priaku. 
Tapi akhirnya sekaligus mengecewakannya. Dan saat terakhir dia pergi, hanya itu yang membekas….

Ya, ayahku juga diakhir percakapan mengatakan ....

“sesuatu yang memang untukmu, pada akhirnya akan ada untukmu, tidak akan tertukar”

Awalnya aku tidak memikirkannya. Aku pikir itu hanya kata-kata ayahku untuk menenangkan saja. Aku juga berpikir, kegagalanku ya karena aku yang salah. Maka memperbaiki diri adalah cara utama yang harus aku lakukan. 

Sampai tiba saat aku membaca novel “Ayahku (bukan) pembohong” ini. 

“itulah hakikat sejati kebahagiaan hidup, Dam. Hakikat itu berasa dari diri kau sendiri. Bagaimana kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati kita menjadi lapang. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita. Hadiah mendadak, kabar baik, keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua hilang, dengan cepat hilang pula kebahagiaan.” – Tere-liye

Kemudian aku mengingat, seseorang mengatakan bahwa aku tidak bisa membuatnya bahagia, dia tidak bahagia ketika bersama denganku. 
Ya, kalimat itu sempat membuatku tidak memiliki hati satu setengah tahun yang lalu. Ya, senjatanya adalah kata-kata ayahku tadi.

Ya, aku bangga memiliki ayah seperti beliau.
Hanya saja terakhir kali aku bertemu dengannya, aku tidak bisa memeluk dan melihat wajahnya.
Aku hanya bisa menyentuh ujung pinggir petinya dan melihat kain kafannya.

Dad, I'm happy now. With him...


No comments:

Post a Comment