Sore
berangin dan mendung.
Dingin.
Aku meminjam motor teman se-kost untuk mampir ke
toko buku.
Jalanan
tidak terlalu ramai dan tidak terlalu sepi.
Lama, cukup lama tidak mengendarai
motor ber-persneling ini, agak susah awalnya. Motor kulaju dengan kecepatan 30
km/jam, karena sulit bagiku yang hampir 4 tahun mengendarai scooter.
Sampai
di toko buku, social agency namanya. Awal datang mataku tertuju pada dinding
parkiran motor, “parkir gratis” yang artinya aku tidak perlu menyiapkan Rp 1000
untuk motor atau Rp 2000 untuk konsumen yang datang memakai mobil. Entah apa
namanya, perasaanku arif seketika melihat tulisan itu.
Lantai
2 langsung ku jejal, toko buku ini jarang aku kunjungi. Terakhir adalah setahun
yang lalu. Saat berstatus baru patah hati. Tak kenal hati, rasa mati. Langkah pertama
masuk ke dalam toko buku itu mengingatkan kejadian setahun yang lalu. Siklus hidup
yang berubah, dari yang ketergantungan mulai belajar untuk hdiup sendiri dan
mandiri. Anak tangga pertama aku naiki dan tersenyum kecil mengingat setahun lalu.
Rak
“FARMASI” berderet disamping rak “KEDOKTERAN” dan “MESIN”. Aku meneliti satu
persatu buku, yang herannya diisi dengan buku “Kebidanan”. Aku mencari buku
yang nantinya akan aku sumbangkan ke Perpustakaan. Setelah 40 menit, aku mendapatkan judul yang
dicari. Buku yang ditulis oleh salah satu dosen kelas farmakologiku Dr. Agung.
Sembari
melihat-lihat novel, mataku tertuju pada novel dengan cover berwarna biru muda.
Ya, sebenarnya bukan karena tahu penulisnya siapa, tapi ada kata “Ayah” pada
cover tersebut.
Judul novel itu “Ayahku (bukan) pembohong”.
Tertarik, aku
mengambilnya, membaca tulisan dibelakangnya.
“…kapan
terakhir kali kita memeluk ayah kita? Menatap wajahnya, lantas bilang kita
sungguh sayang padanya?”
Sarafku
terpacu, kemudian yang muncul dipikiranku adalah ayahku. Terakhir aku melihat
beliau adalah di dalam peti, yang baru sampai di bawa ke Yogyarta denga
pesawat. Bahkan aku tidak sempat melihat wajahnya. Bahakn memeluknya saja aku
tidak sempat, aku hanya menyentuh ujung petinya, dan menatapnya sebentar karena
akan segera dikuburkan.
November
2012, bulan dimana aku dipaksa dewasa. Menjadikan otakku bekerja lebih banyak
dari sebelumnya. Di hari ulang tahunku, aku berbicara empat mata dengan ayahku.
Dia tidak menanyakan kenapa, dia juga tidak ingin mencari tahu apa sebab aku
patah hati. Dia tidak menyalahkan pria yang membuatku patah hati. Ayahku hanya
mengatakan…
“kamu hanya perlu lebih banyak belajar dan
melihat dunia, bahagia itu datang dari diri sendiri. Bukan orang lain. Bukan orang
lain yang bertanggung jawab atas kebahagiaanmu, tapi dirimu sendiri”
Dari
matanya aku melihat betapa dia menyukai pria yang membuatku patah hati, pria
yang pertama kali aku kenalkan pada ayahku sebagai teman priaku.
Tapi akhirnya sekaligus
mengecewakannya. Dan saat terakhir dia pergi, hanya itu yang membekas….
Ya,
ayahku juga diakhir percakapan mengatakan ....
“sesuatu yang memang untukmu, pada akhirnya
akan ada untukmu, tidak akan tertukar”
Awalnya
aku tidak memikirkannya. Aku pikir itu hanya kata-kata ayahku untuk menenangkan
saja. Aku juga berpikir, kegagalanku ya karena aku yang salah. Maka memperbaiki
diri adalah cara utama yang harus aku lakukan.
Sampai
tiba saat aku membaca novel “Ayahku
(bukan) pembohong” ini.
“itulah hakikat
sejati kebahagiaan hidup, Dam. Hakikat itu berasa dari diri kau sendiri. Bagaimana
kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun
belajar membuat hati kita menjadi lapang. Kita tidak akan pernah merasakan
kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita. Hadiah mendadak,
kabar baik, keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu
tidak hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua hilang, dengan cepat hilang pula
kebahagiaan.” –
Tere-liye
Kemudian
aku mengingat, seseorang mengatakan bahwa aku
tidak bisa membuatnya bahagia, dia tidak bahagia ketika bersama denganku.
Ya,
kalimat itu sempat membuatku tidak memiliki hati satu setengah tahun yang lalu.
Ya, senjatanya adalah kata-kata ayahku tadi.
Ya,
aku bangga memiliki ayah seperti beliau.
Hanya
saja terakhir kali aku bertemu dengannya, aku tidak bisa memeluk dan melihat
wajahnya.
Aku
hanya bisa menyentuh ujung pinggir petinya dan melihat kain kafannya.
Dad, I'm happy now. With him...